Senin, 06 Juli 2015

INFLASI DI NEGARA SUDAN


Sejarah terjadinya Inflasi di Sudan
Tingkat inflasi tahunan di negara Sudan, Afrika naik menjadi 41,2 persen pada bulan Mei lalu. Atau kenaikan per bulan sebesar 3,9 persen. Kantor pusat statistik menjelaskan kenaikan inflasi tersebut membuat harga makanan di Sudan melonjak tinggi.

Lonjakan harga makanan ini telah terjadi sejak Sudan Selatan memisahkan diri dari negara Sudan pada tahun 2011. Negara baru ini membawa ¾ dari produksi minyak negara yang menjadi sumber utama devisa Negara.

Padahal, produksi minyak yang jadi sumber mata uang asing ini dibutuhkan untuk mendukung stabilitas mata uang negara (Sudan Pound). Selain itu juga untuk membayar makanan dan produk impor lainnya.

Dikatakan di buletin bulanan kantor statistik, kenaikan bulanan ini menyebabkan adanya peningkatan harga makanan dan minuman pada bulan Mei. Sedangkan pada bulan April, inflasi tahunan berjalan pada tingkat 37,7 persen. Sebulan kemudian meningkat menjadi 41,2 persen.

Meski di Sudan telah terjadi pemberontakan bersenjata, sanksi perdagangan AS, krisis ekonomi, dan upaya kudeta, Omar Hassan al-Bashir, presiden Sudan tetap berkuasa dan telah memerintah selama lebih dari dua dekade.

Selain dinilai gagal dalam memerintah, presiden ini juga terkena dakwaan dari pengadilan kriminal internasional atas tuduhan mendalangi kejahatan perang di wilayah bermasalah, Darfur.

Menurut Dana Moneter Internasional IMF, tahun 2012 ekonomi Sudan turun 11 persen. Pada saat yang sama, inflasi melonjak. Harga-harga naik sampai 28 persen. Bulan Juni 2012, pemerintah Sudan terpaksa mencabut subsidi bahan bakar dan pangan. Harga bensin naik dua kali lipat. Di ibukota Sudan, Khartoum, terjadi aksi protes dan kerusuhan.
Sudan Selatan juga sangat membutuhkan pemasukan dari ekspor minyak. Lebih separuh penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Sistem pelayanan kesehatan sangat buruk. 90 persen pendapatan negara berasal dari penjualan minyak.

Sudan telah berjuang dengan inflasi yang tinggi dan diperburuk oleh kekurangan mata uang asing setelah Sudan Selatan memisahkan diri sebagai negara yang merdeka pada bulan Juli lalu. Itu artinya, Sudan kehilangan sekitar tiga perempat dari produksi minyak yang selama ini mereka hasilkan.

Minyak merupakan sumber terbesar penerimaan negara Sudan dan menjadi gerbang masuknya dolar sebelum perpecahan. Hilangnya pendapatan minyak mendorong kenaikan inflasi tahunan menjadi 28,6 persen pada bulan April dimana Sudan harus mengimpor sebagian besar kebutuhannya.

Pada bulan Januari, Sudan Selatan yang terkurung daratan mematikan produksi minyaknya dari sekitar 350.000 barel per hari di tengah pertikaian panas dengan tetangganya di utara yang harus membayar ekspor melalui jaringan pipa ke terminal di Pelabuhan Laut Merah Sudan.
Sudan menghadapi krisis ekonomi, dan terjadinya defisit anggaran yang membengkak, depresiasi mata uang Sudan terhadap mata uang asing, dan inflasi tinggi, sejak Sudan Selatan memisahkan diri tahun lalu. Sudan terus dirongrong oleh Sudan Selatan, yang dikuasai oleh Kristen, dan mereka menghancurkan ladang-ladang minyak di perbatasan Sudan, sejak Selatan berpisah dengan Sudan Utara. Minya menjadi sumber penerimaan utama bagi Sudan.

Golongan Inflasi Negara Sudan
Pada bulan Juni 2015 inflasi di negara Sudan mencapai 24.3%, ini termasuk golongan inflasi sedang. Inflasi ini belum membahayakan kegiatan ekonomi. Tetapi inflasi ini bisa menurunkan kesejahteraan orang-orang berpenghasilan tetap. Inflasi sedang berkisar antara 10%-30% per tahun. 


Kebijakan pemerintah dalam menghadapi inflasi di Sudan
Keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar beserta langkah-langkah penghematan lainnya di tahun lalu memicu aksi protes massa. Aksi itu menyebabkan puluhan orang tewas dan ratusan orang lainnya terluka.

“Misi dan pemerintah sepakat bahwa tantangan yang dihadapi Sudan sangat menakutkan dan memerlukan reformasi yang tepat untuk menstabilkan perekonomian. Tugas lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan prospek pertumbuhan inklusif dan penciptaan lapangan kerja,” katanya.

IMF mengatakan pihaknya merekomendasikan “dua strategi reformasi” yang termasuk langkah-langkah jangka pendek untuk “mendapatkan kembali kontrol, dan menstabilkan, ekonomi” serta jangka menengah untuk reformasi structural.

Ketegangan dan bentrokan yang terus berlanjut antara Sudan dan Sudan Selatan -yang diprovokasi oleh serangkaian perselisihan posisi perbatasan bersama, biaya transit minyak, klaim teritorial dan masalah lainnya- telah memperburuk kondisi ekonomi di kedua negara.